Rabu, 02 Maret 2016

“Perjuangan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia Melalui Jalur Diplomasi"

“Perjuangan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia Melalui Jalur Diplomasi"  

1.  
                Selain melalui perjuangan fisik, para pahlawan bangsapun berjuang melalui jalur diplomasi. Perjuangan melalui jalur diplomasi ini dilakukan melalui berbagai perundingan terutama dengan Belanda. Tujuanya satu yakni agar Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka dan mempunyai kedudukan yang sama dengan negara lainya yang sudah terlebih dahulu merdeka. Berikut ini beberapa perundingan yang dilakukan oleh indonesia dengan Belanda pada masa revolusi kemerdekaan.

       PERJANJIAN LINGGARJATI




Perundingan Linggarjati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat pada tanggal 10-15 November 1946 yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 november 1946 dan ditandatangani secara sah oleh kedua negara pada 25 maret 1947.


Pihak Inggris terus mengupayakan perundingan agar menjadi jalan terbaik dalam menyelesaikan konflik antara pihak Indonesia dengan Belanda dengan perantaraan diplomat Inggris, Lord Killearn. Pada awalnya pertemuan diselenggarakan di Istana Negara dan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Dalam perundingan itu pihak Indonesia dipimpin Sutan Syabrir dan pihak Belanda oleh Pro. Schermerhorn. Kemudian perundingan dilanjutkan di Linggarjati.Isi perjanjian Linggarjati:

1.         Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia atas Jawa,  Madura, dan Sumatra.

2.         Akan dibentuk negara federal dengan nama Indonesia Serikat yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia

3.         Dibentuk Uni Indonesia-Belanda dengan ratu Belanda sebagai kepala uni

4.         Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Uni Indonesia-Belanda sebelum tanggal 1 Januari 1949

            Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani tanggal 15 November 1946 mendapat tentangan dari partai-partai politik yang ada di Indonesia. Sementara itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6 tahun 1946 tentang penambahan anggota KNIP untuk partai besar dan wakil dari daerah luar Jawa. Tujuannya adalah untuk menyempurnakan susunan KNIP. Ternyata tentangan itu masih tetap ada, bahkan presiden dan wakil presiden mengancam akan mengundurkan diri apabila usaha-usaha untuk memperoleh persetujuan itu ditolak.

Akhirnya, KNIP mengesahkan perjanjian Linggarjati  pada tanggal 25 Februari 1947, bertempat di Istana Negara Jakarta. Persetujuan itu ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947. Apabila ditinjau dari luas wilayah, kekuasaan Republik Indonesia menjadi semakin sempit, namun bila dipandang dari segi politik intemasional kedudukan Republik Indonesia bertambah kuat. Hal ini disebabkan karena pemerintah Inggris, Amerika Serikat, serta beberapa negara-negara Arab telah memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia.

Persetujuan itu sangat sulit terlaksana, karena pihak Belanda menafsirkan lain. Bahkan dijadikan sebagai alasan oleh pihak Belanda untuk mengadakan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947. Bersamaan dengan Agresi Militer I yang dilakukan oleh pihak Belanda, Republik Indonesia mengirim utusan ke sidang PBB dengan tujuan agar posisi Indonesia di dunia internasional semakin bertambah kuat. Utusan itu terdiri dari Sutan Svahrir, H. Agus Salim, Sudjatmoko, dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo.

Kehadiran utusan tersebut menarik perhatian peserta sidang PBB, oleh karena itu Dewan Keamanan PBB memerintahkan agar dilaksanakan gencatan senjata dengan mengirim komisi jasa baik (goodwill commission) dengan beranggotakan tiga negara. Indonesia mengusulkan Austra-lia, Belanda mengusulkan Belgia, dan kedua negara yang diusulkan itu menunjuk Amerika Serikat sebagai anggota ketiga. Richard C. Kirby dari A.ustralia, Paul van Zeeland dari Belgia, dan Frank Graham dari Amerika Serikat. Di Indonesia, ketiga anggota itu terkenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara (KTN). Komisi ini menjadi perantara dalam perundingan berikutnya. 



PERJANJIAN RENVILLE
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhkjrKAlD2sbBS1Pm_7EZzz_WhlhsmdWBZq5ClmmiMaEt8Ce0enc87sdYbdoGf7k3pKr68TgiUcxy0N245gETPORv0ogUG7IZI2dNpmJTjLTZxydDA0-RTacWj7zB950X8sAoNVWi8cE5I/s1600/renville.jpg
A.    Latar Belakang diadakannya Perundingan Renville
Pada dasarnya perundingan Renville merupakan perundingan yang dilaksanakan antara pihak delegasi Indonesia dengan pihak delegasi Belanda. Yang di mana tujuan awal diadakannya perundingan ini adalah guna menyelesaikan segala pertikaian dan sengketa yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda.
Pada tanggal 21 Juli 1947 telah terjadi suatu peristiwa berupa penyerangan yang tengah dilakukan Belanda terhadap Indonesia, yang di mana penyerangan tersebut terkenal dengan Agresi Militer Belanda Pertama, yang berlangsung dari tanggal 21 Juli 1947 sampai dengan 4 Agustus 1947.
Mengetahui peristiwa (penyerangan yang tengah dilakukan Belanda terhadap Indonesia), di luar negeri, agresi Belanda ini mendatangkan reaksi keras. Wakil-wakil India dan Australia di PBB mengajukan usul agar soal Indonesia dibahas dalam Dewan Keamanan. Akhirnya Dewan Keamanan PBB pada tanggal 1 Agustus 1947 memerintahkan kedua belah pihak untuk menghentikan tembak-menembak. Dalam persidangan tersebut, Indonesia mengutus Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim. Pada tanggal 4 Agustus, Republik Indonesia dan Belanda mengumumkan penghentian tembak-menembak. Dengan pengumuman gencatan senjata pada tanggal 4 Agustus, secara resmi berakhirlah Agresi Militer Belanda yang pertama. (Sudharmono, 1981: 145)
Dewasanya, jika kita melihat kembali penyebab adanya Agresi Militer Belanda Pertama ini, tidak lain disebabkan karena terdapat suatu perselisihan pendapat sebagai akibat perbedaan penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggajati. Di mana Belanda tetap mendasarkan tafsirannya pada pidato Ratu Wilhelmina tanggal 7 Desember 1942 bahwa Indonesia akan dijadikan anggota Commonwealth dan akan berbentuk federasi, sedangkan hubungan luar negerinya diurus Belanda. Belanda juga menuntut agar segera diadakan gendar-merie bersama. (Sudharmono, 1981: 144). Karena keinginan Belanda yang dinilai sangat merugikan pihak Indonesia, ada sebagian hal yang tidak Indonesia setuju terkait dengan keinginan Belanda tersebut, yaitu “menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah-daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama).”
Mengetahui penolakaan yang tengah diberikan Indonesia terhadap keinginan Belanda, maka sehari sebelum dilaksanakannya Agresi Belanda Pertama pada tanggal 21 Juli 1947, pada tanggal 20 Juli 1947 (tepat satu hari sebelumnya) Belanda menyatakan bahwa Belanda telah tidak terikat dengan perjanjian Linggajati yang tengah disepakatinya pada tanggal 25 Maret 1947. Maka sehari setelah menyatakan perihal ketidak terikatan atas perjanjian Linggajati, maka keesokan harinya tepat pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan serentak terhadap daerah-daerah Republik, dan serangan militer ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda Pertama.
Untuk mengawasi pelaksanaan penghentian tembak menembak dan mencari penyelesaian sengketa secara damai, Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah Komisi Jasa Baik, yang kemudian dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN). (Sudharmono, 1981: 152). Di mana tugas utama KTN ini adalah membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda guna mencapai suatu kedamaian. Adapun negara-negara yang termasuk ke dalam anggota KTN diantaranya adalah Belgia, Australia, dan Amerika Serikat. Wakil Belgia dalam KTN adalah Paul Van Zeeland, Wakil Australia dalam KTN adalah Richard Kirby, dan Wakil Amerika Serikat dalam KTN adalah Dr. Frank Graham.
Pada awalnya masalah yang timbul dalam menghadapi persoalan yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda adalah mengenai tempat dilaksanakannya kembali suatu perundingan baru. Belanda mengusulkan tempat perundingan di Jakarta, namun ditolak oleh Republik Indonesia yang menginginkan suatu tempat yang berada di luar daerah kependudukan. Lalu atas usul KTN, perundingan dilakukan di atas sebuah kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville”.
Perundingan ini akhirnya berhasil dimulai, yaitu pada tangal 8 Desember 1947 di atas Kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir Sjarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjoojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak Belanda. (Sudharmono, 1981: 155)
Meskipun sudah tercapai persetujuan di atas Kapal Renville, tembak-menembak belum juga berhenti sementara KTN praktis tidak berdaya. Pada tanggal 9 Januari 1948, Belanda menyampaikan ultimatum kepada Republik Indonesia untuk segera mengosongkan sejumlah daerah yang luas dan menarik TNI dari daerah-daerah gerilya ke Yogyakarta. Dan di dalam suasana seperti itu, perjanjian Renville akhirnya ditandatangani tepat pada tanggal 17 Januari 1948, disusul dengan instruksi penghentian tembak-menembak pada tanggal 19 Januari 1948.

B.     Isi Perundingan Renville dan Orang-orang yang Berperan di dalamnya
Perundingan antara Belanda dengan Indonesia akhirnya berhasil dimulai, yaitu pada tanggal 8 Desember1947 diatas kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi dari Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin adalah seorang tokoh Indonesia, mantan menteri dan perdana menteri pada awal berdirinya negara Indonesia. Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak kepada Belanda.
Setelah diadakan serangkaian pendekatan lagi, perundingan akhirnya menerima saran-saran KTN, yang pokok-pokoknya adalah:
1.      Segera dikeluarkan perintah penghentian tembak-menembak di sepanjang “Garis van Mook”.
2.      Penghentian tembak-menembak segera diikuti dengan perjanjian perletakan senjata dan pembentukan daerah-daerah kosong militer (demiliterized zones).
Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk melakukan gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tapi pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang terjadi antara Karawang dan Bekasi
Didalam suasana seperti itu perjanjian Renville akhirnya ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, disusul dengan intruksi penghentian tembak-menembak pada tanggal 19 Januari 1948.
Perjanjian Renville terdiri dari:
-          10 pasal persetujuan gencatan senjata
-          12 pasal prinsip politik
-          6 pasal prinsip tambahan dari KTN
Isi Perjanjian Renville:
1.      Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.
2.      Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda
3.      TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta
Berdasarkan persetujuan Renville Wilayah Republik selama masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai, bahkan lebih terbatas lagi ketimbang persetujuan Linggarjati yaitu hanya meliputi sebagian kecil Jawa Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung barat pulau Jawa –Banten. Sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan wilayah-wilayah yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Selain itu juga wilayah-wilayah yang dikuasai Indonesia semakin menyempit.

C.    Orang-orang yang Berperan di dalam Perundingan Renville
Perjanjian Renville adalah perjanjian yang dilakukan antara Indonesia dan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Indonesia dan Belanda dipersilahkan memilih setiap perwakilan untuk KTN ini. Pemerintah Indonesia meminta Indonesia Australia menjadi anggota komisi, sementara Belanda meminta Belgia, dan kedua negara KTN ini meminta Amerika Serikat. Australia sendiri diwakili oleh Richard Kirby, Belgia oleh Paul van Zeenland dan Amerika Serikat oleh Dr. Frank Graham.
Usulan KTN pada tanggal 8 Desember 1947 dilaksanakan perundingan antara Indonesia dan Belanada diatas kapal renville yang sedang berlabuh di Jakarta. Delegasi Indonesia terdiri atas perdana menteri Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, Dr. Tjoa Sik Len, Moh. Roem, Haji Agus Salim, Narsun dan Ir. Juanda. Delegasi Belanda terdiri dari Abdulkadir Widjojoatmojo, Jhr. Van Vredeburgh, Dr. Soumukil, Pangran Kartanagara dan Zulkarnain. Ternyata wakil-wakil Belanda hampir semua berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang pro Belanda. Dengan demikian Belanda tetap melakukan politik adu domba agar Indonesia mudah dikuasainya. Setelah selesai perdebatan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai dengan 17 Januari 1948 maka diperoleh hasil persetujuan damai yang disebut Perjanjian Renville.

D.     KERUGIAN YANG DIPEROLEH INDONESIA.
Perjanjian Renville ini ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 17 Januari 1948. Adapun kerugian yang diderita oleh Indonesia dengan penandatanganan perjanjian Renville ini adalalah sebagai berikut, diantaranya :
1.      Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya negara Indonesia Serikat melalui masa peralihan
2.      Indonesia kehilangan sebagaian daerah kekuasaan karena garis Van Mook terpaksa harus diakui sebagai daerah kekuasaan Belanda
3.      Pihak Republik Indonesia harus menarik seluruh pasukannya yang berada di daerah kekuasaan Belanda dan Kantong-kantong Gerilya masuk ke daerah Republik Indonesia.
Selain itu juga penandatanganan naskah perjanjian Renville ini dapat menimbulkan akibat buruk bagi pemerintahan Republik Indonesia, antara lain sebagai berikut :
a)      Wilayah Republik Indonesia menjadi makin sempit dan dikurung oleh daerah-daerah kekuasaan Belanda
b)      Timbulnya reaksi kekerasan dikalangan para pemimpin Republik Indonesia yang mengakibatkan jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin karena dianggap menjual negara kepada Belanda
c)      Perekonomian Indonesia diblokade secara ketat oleh Belanda
d)     Indonesia terpaksa harus menarik mundur kesatuan-kesatuan militernya dari daerah-daerah gerilya untuk kemudian hijrah ke wilayah Republik Indonesia yang berdekatan

                 E.              Hasil Akhir Perundingan Renville
1.      Wilayah Indonesia diakui sebagai garis demarkasi (garis Van Mook) (Crayon Pedia). Garis Van Mook yaitu garis khayal yang dibuat oleh Van Mook sebagai batas wilayah kekuasaan Indonesia dan kekuasaan Belanda berdasarkan agresi militer Belanda I (Eryadi). Yang mana batas wilayahnya yang di mulai dari Sumatera Selatan, Jawa Barat sampai dengan wilayah Jawa Timur (Gani Abdul Yusra Habib, 2010).
2.      Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia, sampai diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat yang segera dibentuk.
3.      RIS mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara Belanda dalam Uni Indonesia-Belanda.
4.      Republik Indonesia menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat.
5.      Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah federal sementara.
6.      Pasukan Republik Indonesia yang berada di daerah kantung harus ditarik ke daearh Republik Indonesia. Daerah kantung adalah daerah yang berada dibelakang garis Van Mook, yakni garis yang menghubungkan dua daerah terdepan yang di duduki oleh Belanda.
7.      Pada tanggal 12 Januari 1948 Perjanjian Renville ditandatangani. (Eryadi).  


3.   PERUNDINGAN ROEM ROYEN
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg15Opi-9iQRSPB7go-sJeZuES9TM3h7lUjuruFVlJ3Z9tOMUz69FETamb7EDT2REop7q8JxZQb0SUM6SnUquvfFcQzP_rARyrvpM1xXMKDRVheU6uPfv7NPSPrtIsIG9KXspgtzgHjOPg/s320/djvipaqs.jpg
                Perjanjian Roem-Roijen (juga disebut Perjanjian Roem-Van Roijen) adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama. Perjanjian ini sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX terhadap Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, di mana Sultan Hamengku Buwono IX mengatakan “Jogjakarta is de Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia)


  • Kesepakatan

Hasil pertemuan ini adalah:

1.     Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya 
1.     Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar
1.     Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
1.     Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang


          Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:
Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville pada 1948
Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak
Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia
 

  • Pasca perjanjian

           Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta, ibukota sementara Republik Indonesia. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan perjanjian Roem-van Roijen dan Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal 22 Desember 1948 menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi mengakhiri keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli 1949.

           Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus) dan Sumatera (15 Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan tentang semua masalah dalam agenda pertemuan, kecuali masalah Papua Belanda.

4.   KONFERENSI MEJA BUNDAR
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/proxy/AVvXsEhrVoR_8VZVIcm8pmyc-1kQRvVA0xMGuEak0rsRKSHtZqhsvnS1h6jQVNwr7RcDC4LwIAPd4EijtTIvgTL1qNIGMudTZPuENlFpbDCQhdYUHBJWPVvjWx_-tdnp4pdD3-Em4jsFtOroZppvgyWmiJtvaP5adloH75sUQrzrjUCoWdD2Q3H5y1ezStXAgcU=

 
                  Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia. Sebelum konferensi ini, berlangsung tiga pertemuan tingkat tinggi antara Belanda dan Indonesia, yaitu Perjanjian Linggarjati (1947), Perjanjian Renville (1948), dan Perjanjian Roem-Royen (1949). Konferensi ini berakhir dengan kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
1.     Latar belakang
Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati dan perjanjian Renville. Pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa meloloskan resolusi yang mengecam serangan militer Belanda terhadap tentara Republik di Indonesia dan menuntut dipulihkannya pemerintah Republik. Diserukan pula kelanjutan perundingan untuk menemukan penyelesaian damai antara dua pihak.
Menyusul Perjanjian Roem-Royen pada 6 Juli, yang secara efektif ditetapkan oleh resolusi Dewan Keamanan, Mohammad Roem mengatakan bahwa Republik Indonesia, yang para pemimpinnya masih diasingkan di Bangka, bersedia ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar untuk mempercepat penyerahan kedaulatan.
Pemerintah Indonesia, yang telah diasingkan selama enam bulan, kembali ke ibukota sementara di Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Demi memastikan kesamaan posisi perunndingan antara delegasi Republik dan federal, dalam paruh kedua Juli 1949 dan sejak 31 Juli–2 Agustus, Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk. Para partisipan setuju mengenai prinsip dan kerangka dasar untuk konstitusinya.[4] Menyusul diskusi pendahuluan yang disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta, ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar di Den Haag.
2.     Negosiasi
Perundingan menghasilkan sejumlah dokumen, di antaranya Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan, kesepakatan ekonomi serta kesepakatan terkait urusan sosial dan militer. Mereka juga menyepakati penarikan mundur tentara Belanda "dalam waktu sesingkat-singkatnya", serta Republik Indonesia Serikat memberikan status bangsa paling disukai kepada Belanda. Selain itu, tidak akan ada diskriminasi terhadap warga negara dan perusahaan Belanda, serta Republik bersedia mengambil alih kesepakatan dagang yang sebelumnya dirundingkan oleh Hindia Belanda. Akan tetapi, ada perdebatan dalam hal utang pemerintah kolonial Belanda dan status Papua Barat.
J.H. Maarseveen, Sultan Hamid II dan Mohammad Hatta menandatangani Perjanjian Meja Bundar, 2 November 1949. Perundingan mengenai utang luar negeri pemerintah kolonial Hindia Belanda berlangsung berkepanjangan, dengan masing-masing pihak menyampaikan perhitungan mereka dan berpendapat mengenai apakah Indonesia Serikat mesti menanggung utang yang dibuat oleh Belanda setelah mereka menyerah kepada Jepang pada 1942. Delegasi Indonesia terutama merasa marah karena harus membayar biaya yang menurut mereka digunakan oleh Belanda dalam tindakan militer terhadap Indonesia. Pada akhirnya, berkat intervensi anggota AS dalam komisi PBB untuk Indonesia, pihak Indonesia menyadari bahwa kesediaan membayar sebagian utang Belanda adalah harga yang harus dibayar demi memperoleh kedaulatan. Pada 24 Oktober, delegasi Indonesia setuju untuk menanggung sekitar 4,3 miliar gulden utang pemerintah Hindia Belanda.
Permasalahan mengenai Papua Barat juga hampir menyebabkan pembicaraan menjadi buntu. Delegasi Indonesia berpendapat bahwa Indonesia harus meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Di pihak lain, Belanda menolak karena mengklaim bahwa Papua Barat tidak memiliki ikatan etnik dengan wilayah Indonesia lainnya. Meskipun opini publik Belanda yang mendukung penyerahan Papua Barat kepada Indonesia, kabinet Belanda khawatir tidak akan dapat meratifikasi Perjanjian Meja Bundar jika poin ini disepakati. Pada akhirnya, pada awal 1 November 1949 suatu kesepakatan diperoleh, status Papua Barat akan ditentukan melalui perundingan antara Indonesia Serikat dengan Belanda dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan.
3.     Hasil
Konferensi secara resmi ditutup di gedung parlemen Belanda pada 2 November 1949. Kedaulatan diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat pada 27 December 1949. Isi perjanjian konferensi adalah sebagai berikut:“            Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.
Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland.
Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949   ”
— Rantjangan Piagam Penjerahan Kedaulatan.

4.     Keterangan tambahan mengenai hasil tersebut adalah sebagai berikut:
Serah terima kedaulatan atas wilayah Hindia Belanda dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serah terima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan pemimpin kerajaan Belanda sebagai kepala negara
Pengambilalihan utang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat
5.     Dampak
Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri, yang membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara bagian dan merupakan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.
Tanggal penyerahan kedaulatan oleh Belanda ini juga merupakan tanggal yang diakui oleh Belanda sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Barulah sekitar enam puluh tahun kemudian, tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Belanda secara resmi mengakui bahwa kemerdeekaan de facto Indonesia bermula pada 17 Agustus 1945. Dalam sebuah konferensi di Jakarta, Perdana Menteri Belanda Ben Bot mengungkapkan "penyesalan sedalam-dalamnya atas semua penderitaan" yang dialami rakyat Indonesia selama empat tahun Revolusi Nasional, meski ia tidak secara resmi menyampaikan permohonan maaf. Reaksi Indonesia kepada posisi Belanda umumnya positif; menteri luar negeri Indonesia Hassan Wirayuda mengatakan bahwa, setelah pengakuan ini, "akan lebih mudah untuk maju dan memperkuat hubungan bilateral antara dua negara".
Tekait utang Hindia-Belanda, Indonesia membayar sebanyak kira-kira 4 miliar gulden dalam kurun waktu 1950-1956 namun kemudian memutuskan untuk tidak membayar sisanya.


Perjuangan melalui perundingan membuktikan bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai. Kita tidak mengutamakan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan. Ini sesuai dengan budaya Bangsa Indonesia yang tercermin dalam ideologi Pancasila. Kita mengutamakan persatuan dan kesatuan, mengutamakan musyawarah mufakat.







2.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar