“Perjuangan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia Melalui Jalur Diplomasi"
1.
Selain melalui perjuangan fisik, para pahlawan bangsapun berjuang melalui jalur diplomasi. Perjuangan melalui jalur diplomasi ini dilakukan melalui berbagai perundingan terutama dengan Belanda. Tujuanya satu yakni agar Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka dan mempunyai kedudukan yang sama dengan negara lainya yang sudah terlebih dahulu merdeka. Berikut ini beberapa perundingan yang dilakukan oleh indonesia dengan Belanda pada masa revolusi kemerdekaan.
PERJANJIAN LINGGARJATI
Selain melalui perjuangan fisik, para pahlawan bangsapun berjuang melalui jalur diplomasi. Perjuangan melalui jalur diplomasi ini dilakukan melalui berbagai perundingan terutama dengan Belanda. Tujuanya satu yakni agar Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka dan mempunyai kedudukan yang sama dengan negara lainya yang sudah terlebih dahulu merdeka. Berikut ini beberapa perundingan yang dilakukan oleh indonesia dengan Belanda pada masa revolusi kemerdekaan.
PERJANJIAN LINGGARJATI
Perundingan Linggarjati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat pada tanggal 10-15 November 1946 yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 november 1946 dan ditandatangani secara sah oleh kedua negara pada 25 maret 1947.
Pihak Inggris terus mengupayakan perundingan agar menjadi jalan terbaik dalam menyelesaikan konflik antara pihak Indonesia dengan Belanda dengan perantaraan diplomat Inggris, Lord Killearn. Pada awalnya pertemuan diselenggarakan di Istana Negara dan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Dalam perundingan itu pihak Indonesia dipimpin Sutan Syabrir dan pihak Belanda oleh Pro. Schermerhorn. Kemudian perundingan dilanjutkan di Linggarjati.Isi perjanjian Linggarjati:
1. Belanda
mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatra.
2. Akan
dibentuk negara federal dengan nama Indonesia Serikat yang salah satu negara
bagiannya adalah Republik Indonesia
3. Dibentuk
Uni Indonesia-Belanda dengan ratu Belanda sebagai kepala uni
4. Pembentukan
Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Uni Indonesia-Belanda sebelum tanggal 1
Januari 1949
Perjanjian
Linggarjati yang ditandatangani tanggal 15 November 1946 mendapat tentangan
dari partai-partai politik yang ada di Indonesia. Sementara itu, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6 tahun 1946 tentang penambahan anggota
KNIP untuk partai besar dan wakil dari daerah luar Jawa. Tujuannya adalah untuk
menyempurnakan susunan KNIP. Ternyata tentangan itu masih tetap ada, bahkan
presiden dan wakil presiden mengancam akan mengundurkan diri apabila
usaha-usaha untuk memperoleh persetujuan itu ditolak.
Akhirnya,
KNIP mengesahkan perjanjian Linggarjati
pada tanggal 25 Februari 1947, bertempat di Istana Negara Jakarta. Persetujuan
itu ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947. Apabila ditinjau dari luas
wilayah, kekuasaan Republik Indonesia menjadi semakin sempit, namun bila
dipandang dari segi politik intemasional kedudukan Republik Indonesia bertambah
kuat. Hal ini disebabkan karena pemerintah Inggris, Amerika Serikat, serta
beberapa negara-negara Arab telah memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan dan
kedaulatan Republik Indonesia.
Persetujuan
itu sangat sulit terlaksana, karena pihak Belanda menafsirkan lain. Bahkan
dijadikan sebagai alasan oleh pihak Belanda untuk mengadakan Agresi Militer I
pada tanggal 21 Juli 1947. Bersamaan dengan Agresi Militer I yang dilakukan
oleh pihak Belanda, Republik Indonesia mengirim utusan ke sidang PBB dengan
tujuan agar posisi Indonesia di dunia internasional semakin bertambah kuat.
Utusan itu terdiri dari Sutan Svahrir, H. Agus Salim, Sudjatmoko, dan Dr.
Sumitro Djojohadikusumo.
Kehadiran
utusan tersebut menarik perhatian peserta sidang PBB, oleh karena itu Dewan
Keamanan PBB memerintahkan agar dilaksanakan gencatan senjata dengan mengirim
komisi jasa baik (goodwill commission) dengan beranggotakan tiga negara.
Indonesia mengusulkan Austra-lia, Belanda mengusulkan Belgia, dan kedua negara
yang diusulkan itu menunjuk Amerika Serikat sebagai anggota ketiga. Richard C.
Kirby dari A.ustralia, Paul van Zeeland dari Belgia, dan Frank Graham dari
Amerika Serikat. Di Indonesia, ketiga anggota itu terkenal dengan sebutan
Komisi Tiga Negara (KTN). Komisi ini menjadi perantara dalam perundingan berikutnya.
Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:
Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville pada 1948
Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak
Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia. Sebelum konferensi ini, berlangsung tiga pertemuan tingkat tinggi antara Belanda dan Indonesia, yaitu Perjanjian Linggarjati (1947), Perjanjian Renville (1948), dan Perjanjian Roem-Royen (1949). Konferensi ini berakhir dengan kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
Perjuangan melalui perundingan membuktikan bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai. Kita tidak mengutamakan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan. Ini sesuai dengan budaya Bangsa Indonesia yang tercermin dalam ideologi Pancasila. Kita mengutamakan persatuan dan kesatuan, mengutamakan musyawarah mufakat.
PERJANJIAN RENVILLE
A. Latar
Belakang diadakannya Perundingan Renville
Pada dasarnya
perundingan Renville merupakan perundingan yang dilaksanakan antara pihak
delegasi Indonesia dengan pihak delegasi Belanda. Yang di mana tujuan awal
diadakannya perundingan ini adalah guna menyelesaikan segala pertikaian dan
sengketa yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda.
Pada tanggal 21 Juli
1947 telah terjadi suatu peristiwa berupa penyerangan yang tengah dilakukan
Belanda terhadap Indonesia, yang di mana penyerangan tersebut terkenal dengan
Agresi Militer Belanda Pertama, yang berlangsung dari tanggal 21 Juli 1947
sampai dengan 4 Agustus 1947.
Mengetahui peristiwa
(penyerangan yang tengah dilakukan Belanda terhadap Indonesia), di luar negeri,
agresi Belanda ini mendatangkan reaksi keras. Wakil-wakil India dan Australia
di PBB mengajukan usul agar soal Indonesia dibahas dalam Dewan Keamanan.
Akhirnya Dewan Keamanan PBB pada tanggal 1 Agustus 1947 memerintahkan kedua
belah pihak untuk menghentikan tembak-menembak. Dalam persidangan tersebut,
Indonesia mengutus Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim. Pada tanggal 4 Agustus,
Republik Indonesia dan Belanda mengumumkan penghentian tembak-menembak. Dengan
pengumuman gencatan senjata pada tanggal 4 Agustus, secara resmi berakhirlah
Agresi Militer Belanda yang pertama. (Sudharmono, 1981: 145)
Dewasanya, jika kita
melihat kembali penyebab adanya Agresi Militer Belanda Pertama ini, tidak lain
disebabkan karena terdapat suatu perselisihan pendapat sebagai akibat perbedaan
penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggajati. Di mana Belanda
tetap mendasarkan tafsirannya pada pidato Ratu Wilhelmina tanggal 7 Desember
1942 bahwa Indonesia akan dijadikan anggota Commonwealth dan akan berbentuk
federasi, sedangkan hubungan luar negerinya diurus Belanda. Belanda juga
menuntut agar segera diadakan gendar-merie bersama. (Sudharmono, 1981: 144).
Karena keinginan Belanda yang dinilai sangat merugikan pihak Indonesia, ada
sebagian hal yang tidak Indonesia setuju terkait dengan keinginan Belanda
tersebut, yaitu “menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk
daerah-daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama).”
Mengetahui penolakaan
yang tengah diberikan Indonesia terhadap keinginan Belanda, maka sehari sebelum
dilaksanakannya Agresi Belanda Pertama pada tanggal 21 Juli 1947, pada tanggal
20 Juli 1947 (tepat satu hari sebelumnya) Belanda menyatakan bahwa Belanda
telah tidak terikat dengan perjanjian Linggajati yang tengah disepakatinya pada
tanggal 25 Maret 1947. Maka sehari setelah menyatakan perihal ketidak terikatan
atas perjanjian Linggajati, maka keesokan harinya tepat pada tanggal 21 Juli
1947, Belanda melancarkan serangan serentak terhadap daerah-daerah Republik,
dan serangan militer ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda Pertama.
Untuk mengawasi
pelaksanaan penghentian tembak menembak dan mencari penyelesaian sengketa
secara damai, Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah Komisi Jasa Baik, yang
kemudian dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN). (Sudharmono, 1981: 152). Di
mana tugas utama KTN ini adalah membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi
antara Indonesia dengan Belanda guna mencapai suatu kedamaian. Adapun
negara-negara yang termasuk ke dalam anggota KTN diantaranya adalah Belgia,
Australia, dan Amerika Serikat. Wakil Belgia dalam KTN adalah Paul Van Zeeland,
Wakil Australia dalam KTN adalah Richard Kirby, dan Wakil Amerika Serikat dalam
KTN adalah Dr. Frank Graham.
Pada awalnya masalah
yang timbul dalam menghadapi persoalan yang terjadi antara Indonesia dengan
Belanda adalah mengenai tempat dilaksanakannya kembali suatu perundingan baru.
Belanda mengusulkan tempat perundingan di Jakarta, namun ditolak oleh Republik
Indonesia yang menginginkan suatu tempat yang berada di luar daerah
kependudukan. Lalu atas usul KTN, perundingan dilakukan di atas sebuah kapal
pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville”.
Perundingan ini akhirnya
berhasil dimulai, yaitu pada tangal 8 Desember 1947 di atas Kapal Renville yang
berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir
Sjarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir
Widjoojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak Belanda. (Sudharmono, 1981:
155)
Meskipun sudah tercapai
persetujuan di atas Kapal Renville, tembak-menembak belum juga berhenti
sementara KTN praktis tidak berdaya. Pada tanggal 9 Januari 1948, Belanda
menyampaikan ultimatum kepada Republik Indonesia untuk segera mengosongkan
sejumlah daerah yang luas dan menarik TNI dari daerah-daerah gerilya ke
Yogyakarta. Dan di dalam suasana seperti itu, perjanjian Renville akhirnya
ditandatangani tepat pada tanggal 17 Januari 1948, disusul dengan instruksi
penghentian tembak-menembak pada tanggal 19 Januari 1948.
B. Isi
Perundingan Renville dan Orang-orang yang Berperan di dalamnya
Perundingan antara
Belanda dengan Indonesia akhirnya berhasil dimulai, yaitu pada tanggal 8
Desember1947 diatas kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi
dari Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin adalah seorang tokoh
Indonesia, mantan menteri dan perdana menteri pada awal berdirinya negara
Indonesia. Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir
Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak kepada Belanda.
Setelah diadakan
serangkaian pendekatan lagi, perundingan akhirnya menerima saran-saran KTN,
yang pokok-pokoknya adalah:
1.
Segera dikeluarkan perintah penghentian tembak-menembak di sepanjang “Garis van
Mook”.
2.
Penghentian tembak-menembak segera diikuti dengan perjanjian perletakan senjata
dan pembentukan daerah-daerah kosong militer (demiliterized zones).
Pemerintah RI dan
Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk melakukan gencatan
senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tapi pertempuran terus
terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak
termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan
tentara Belanda, seperti yang terjadi antara Karawang dan Bekasi
Didalam suasana seperti
itu perjanjian Renville akhirnya ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948,
disusul dengan intruksi penghentian tembak-menembak pada tanggal 19 Januari
1948.
Perjanjian Renville
terdiri dari:
-
10 pasal persetujuan gencatan senjata
-
12 pasal prinsip politik
-
6 pasal prinsip tambahan dari KTN
Isi Perjanjian Renville:
1.
Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian
wilayah Republik Indonesia.
2.
Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan
daerah pendudukan Belanda
3.
TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di
Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta
Berdasarkan persetujuan
Renville Wilayah Republik selama masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai,
bahkan lebih terbatas lagi ketimbang persetujuan Linggarjati yaitu hanya
meliputi sebagian kecil Jawa Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung
barat pulau Jawa –Banten. Sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik
harus mengosongkan wilayah-wilayah yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari
1948, Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Selain itu juga wilayah-wilayah
yang dikuasai Indonesia semakin menyempit.
C. Orang-orang
yang Berperan di dalam Perundingan Renville
Perjanjian Renville
adalah perjanjian yang dilakukan antara Indonesia dan Belanda yang
ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang
Amerika Serikat sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan
Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan
ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), yang terdiri dari Amerika Serikat,
Australia, dan Belgia. Indonesia dan Belanda dipersilahkan memilih setiap
perwakilan untuk KTN ini. Pemerintah Indonesia meminta Indonesia Australia
menjadi anggota komisi, sementara Belanda meminta Belgia, dan kedua negara KTN
ini meminta Amerika Serikat. Australia sendiri diwakili oleh Richard Kirby,
Belgia oleh Paul van Zeenland dan Amerika Serikat oleh Dr. Frank Graham.
Usulan KTN pada tanggal
8 Desember 1947 dilaksanakan perundingan antara Indonesia dan Belanada diatas
kapal renville yang sedang berlabuh di Jakarta. Delegasi Indonesia terdiri atas
perdana menteri Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, Dr. Tjoa Sik Len, Moh.
Roem, Haji Agus Salim, Narsun dan Ir. Juanda. Delegasi Belanda terdiri dari
Abdulkadir Widjojoatmojo, Jhr. Van Vredeburgh, Dr. Soumukil, Pangran
Kartanagara dan Zulkarnain. Ternyata wakil-wakil Belanda hampir semua berasal
dari bangsa Indonesia sendiri yang pro Belanda. Dengan demikian Belanda tetap
melakukan politik adu domba agar Indonesia mudah dikuasainya. Setelah selesai
perdebatan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai dengan 17 Januari 1948 maka
diperoleh hasil persetujuan damai yang disebut Perjanjian Renville.
D. KERUGIAN
YANG DIPEROLEH INDONESIA.
Perjanjian Renville ini
ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 17 Januari 1948. Adapun
kerugian yang diderita oleh Indonesia dengan penandatanganan perjanjian
Renville ini adalalah sebagai berikut, diantaranya :
1.
Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya negara Indonesia Serikat melalui masa
peralihan
2.
Indonesia kehilangan sebagaian daerah kekuasaan karena garis Van Mook terpaksa
harus diakui sebagai daerah kekuasaan Belanda
3.
Pihak Republik Indonesia harus menarik seluruh pasukannya yang berada di daerah
kekuasaan Belanda dan Kantong-kantong Gerilya masuk ke daerah Republik
Indonesia.
Selain itu juga
penandatanganan naskah perjanjian Renville ini dapat menimbulkan akibat buruk
bagi pemerintahan Republik Indonesia, antara lain sebagai berikut :
a)
Wilayah Republik Indonesia menjadi makin sempit dan dikurung oleh daerah-daerah
kekuasaan Belanda
b)
Timbulnya reaksi kekerasan dikalangan para pemimpin Republik Indonesia yang
mengakibatkan jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin karena dianggap menjual negara
kepada Belanda
c)
Perekonomian Indonesia diblokade secara ketat oleh Belanda
d)
Indonesia terpaksa harus menarik mundur kesatuan-kesatuan militernya dari
daerah-daerah gerilya untuk kemudian hijrah ke wilayah Republik Indonesia yang
berdekatan
E. Hasil
Akhir Perundingan Renville
1.
Wilayah Indonesia diakui sebagai garis demarkasi (garis Van Mook) (Crayon
Pedia). Garis Van Mook yaitu garis khayal yang dibuat oleh Van Mook sebagai
batas wilayah kekuasaan Indonesia dan kekuasaan Belanda berdasarkan agresi
militer Belanda I (Eryadi). Yang mana batas wilayahnya yang di mulai dari
Sumatera Selatan, Jawa Barat sampai dengan wilayah Jawa Timur (Gani Abdul Yusra
Habib, 2010).
2.
Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia, sampai diserahkan
kepada Republik Indonesia Serikat yang segera dibentuk.
3.
RIS mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara Belanda dalam Uni
Indonesia-Belanda.
4.
Republik Indonesia menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat.
5.
Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada
pemerintah federal sementara.
6.
Pasukan Republik Indonesia yang berada di daerah kantung harus ditarik ke
daearh Republik Indonesia. Daerah kantung adalah daerah yang berada dibelakang
garis Van Mook, yakni garis yang menghubungkan dua daerah terdepan yang di
duduki oleh Belanda.
7.
Pada tanggal 12 Januari 1948 Perjanjian Renville ditandatangani.
(Eryadi).
3. PERUNDINGAN ROEM ROYEN
Perjanjian Roem-Roijen (juga disebut Perjanjian Roem-Van Roijen) adalah sebuah
perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April
1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes,
Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman
van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah
mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada
tahun yang sama. Perjanjian ini sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Bung
Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari
Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX terhadap Pemerintahan
Republik Indonesia di Yogyakarta, di mana Sultan Hamengku Buwono IX mengatakan
“Jogjakarta is de Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia)
- Kesepakatan
Hasil pertemuan ini
adalah:
1.
Angkatan bersenjata
Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya
1.
Pemerintah Republik
Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar
1.
Pemerintah Republik
Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
1.
Angkatan bersenjata
Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan
perang
Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:
Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville pada 1948
Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak
Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia
- Pasca perjanjian
Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta, ibukota
sementara Republik Indonesia. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan
perjanjian Roem-van Roijen dan Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat presiden
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal 22 Desember 1948
menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi mengakhiri
keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli 1949.
Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus) dan Sumatera (15 Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan tentang semua masalah dalam agenda pertemuan, kecuali masalah Papua Belanda.
Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus) dan Sumatera (15 Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan tentang semua masalah dalam agenda pertemuan, kecuali masalah Papua Belanda.
4. KONFERENSI MEJA BUNDAR
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia. Sebelum konferensi ini, berlangsung tiga pertemuan tingkat tinggi antara Belanda dan Indonesia, yaitu Perjanjian Linggarjati (1947), Perjanjian Renville (1948), dan Perjanjian Roem-Royen (1949). Konferensi ini berakhir dengan kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
1. Latar
belakang
Usaha untuk meredam
kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda
mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian
mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi,
lewat perundingan Linggarjati dan perjanjian Renville. Pada 28 Januari 1949,
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa meloloskan resolusi yang mengecam
serangan militer Belanda terhadap tentara Republik di Indonesia dan menuntut
dipulihkannya pemerintah Republik. Diserukan pula kelanjutan perundingan untuk
menemukan penyelesaian damai antara dua pihak.
Menyusul Perjanjian
Roem-Royen pada 6 Juli, yang secara efektif ditetapkan oleh resolusi Dewan
Keamanan, Mohammad Roem mengatakan bahwa Republik Indonesia, yang para
pemimpinnya masih diasingkan di Bangka, bersedia ikut serta dalam Konferensi
Meja Bundar untuk mempercepat penyerahan kedaulatan.
Pemerintah Indonesia,
yang telah diasingkan selama enam bulan, kembali ke ibukota sementara di
Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Demi memastikan kesamaan posisi perunndingan
antara delegasi Republik dan federal, dalam paruh kedua Juli 1949 dan sejak 31
Juli–2 Agustus, Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan di Yogyakarta antara
semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk. Para
partisipan setuju mengenai prinsip dan kerangka dasar untuk konstitusinya.[4]
Menyusul diskusi pendahuluan yang disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia di
Jakarta, ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar di Den Haag.
2. Negosiasi
Perundingan menghasilkan
sejumlah dokumen, di antaranya Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan,
kesepakatan ekonomi serta kesepakatan terkait urusan sosial dan militer. Mereka
juga menyepakati penarikan mundur tentara Belanda "dalam waktu
sesingkat-singkatnya", serta Republik Indonesia Serikat memberikan status
bangsa paling disukai kepada Belanda. Selain itu, tidak akan ada diskriminasi
terhadap warga negara dan perusahaan Belanda, serta Republik bersedia mengambil
alih kesepakatan dagang yang sebelumnya dirundingkan oleh Hindia Belanda. Akan
tetapi, ada perdebatan dalam hal utang pemerintah kolonial Belanda dan status
Papua Barat.
J.H. Maarseveen, Sultan
Hamid II dan Mohammad Hatta menandatangani Perjanjian Meja Bundar, 2 November
1949. Perundingan mengenai utang luar negeri pemerintah kolonial Hindia Belanda
berlangsung berkepanjangan, dengan masing-masing pihak menyampaikan perhitungan
mereka dan berpendapat mengenai apakah Indonesia Serikat mesti menanggung utang
yang dibuat oleh Belanda setelah mereka menyerah kepada Jepang pada 1942.
Delegasi Indonesia terutama merasa marah karena harus membayar biaya yang menurut
mereka digunakan oleh Belanda dalam tindakan militer terhadap Indonesia. Pada
akhirnya, berkat intervensi anggota AS dalam komisi PBB untuk Indonesia, pihak
Indonesia menyadari bahwa kesediaan membayar sebagian utang Belanda adalah
harga yang harus dibayar demi memperoleh kedaulatan. Pada 24 Oktober, delegasi
Indonesia setuju untuk menanggung sekitar 4,3 miliar gulden utang pemerintah
Hindia Belanda.
Permasalahan mengenai
Papua Barat juga hampir menyebabkan pembicaraan menjadi buntu. Delegasi
Indonesia berpendapat bahwa Indonesia harus meliputi seluruh wilayah Hindia
Belanda. Di pihak lain, Belanda menolak karena mengklaim bahwa Papua Barat
tidak memiliki ikatan etnik dengan wilayah Indonesia lainnya. Meskipun opini
publik Belanda yang mendukung penyerahan Papua Barat kepada Indonesia, kabinet
Belanda khawatir tidak akan dapat meratifikasi Perjanjian Meja Bundar jika poin
ini disepakati. Pada akhirnya, pada awal 1 November 1949 suatu kesepakatan
diperoleh, status Papua Barat akan ditentukan melalui perundingan antara
Indonesia Serikat dengan Belanda dalam waktu satu tahun setelah penyerahan
kedaulatan.
3. Hasil
Konferensi secara resmi
ditutup di gedung parlemen Belanda pada 2 November 1949. Kedaulatan diserahkan
kepada Republik Indonesia Serikat pada 27 December 1949. Isi perjanjian
konferensi adalah sebagai
berikut:“
Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja
kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat
ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara
yang merdeka dan berdaulat.
Republik Indonesia
Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada
Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan
Nederland.
Kedaulatan akan
diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949 ”
— Rantjangan Piagam
Penjerahan Kedaulatan.
4. Keterangan
tambahan mengenai hasil tersebut adalah sebagai berikut:
Serah terima kedaulatan
atas wilayah Hindia Belanda dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik
Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas
daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin
menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis.
Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2
menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serah terima, dan bahwa
masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
Dibentuknya sebuah
persekutuan Belanda-Indonesia, dengan pemimpin kerajaan Belanda sebagai kepala
negara
Pengambilalihan utang
Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat
5. Dampak
Tanggal 27 Desember
1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presidennya,
dengan Hatta sebagai Perdana Menteri, yang membentuk Kabinet Republik Indonesia
Serikat. Indonesia Serikat dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang
terdiri dari 16 negara bagian dan merupakan persekutuan dengan Kerajaan
Belanda.
Tanggal penyerahan
kedaulatan oleh Belanda ini juga merupakan tanggal yang diakui oleh Belanda
sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Barulah sekitar enam puluh tahun
kemudian, tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Belanda secara resmi
mengakui bahwa kemerdeekaan de facto Indonesia bermula pada 17 Agustus 1945.
Dalam sebuah konferensi di Jakarta, Perdana Menteri Belanda Ben Bot
mengungkapkan "penyesalan sedalam-dalamnya atas semua penderitaan"
yang dialami rakyat Indonesia selama empat tahun Revolusi Nasional, meski ia
tidak secara resmi menyampaikan permohonan maaf. Reaksi Indonesia kepada posisi
Belanda umumnya positif; menteri luar negeri Indonesia Hassan Wirayuda
mengatakan bahwa, setelah pengakuan ini, "akan lebih mudah untuk maju dan
memperkuat hubungan bilateral antara dua negara".
Tekait utang
Hindia-Belanda, Indonesia membayar sebanyak kira-kira 4 miliar gulden dalam
kurun waktu 1950-1956 namun kemudian memutuskan untuk tidak membayar sisanya.
Perjuangan melalui perundingan membuktikan bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai. Kita tidak mengutamakan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan. Ini sesuai dengan budaya Bangsa Indonesia yang tercermin dalam ideologi Pancasila. Kita mengutamakan persatuan dan kesatuan, mengutamakan musyawarah mufakat.
2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar